A.
Kegunaan
atau Fungsi Pendidikan Budi Pekerti
Menurut
Cahyono (2001:13) kegunaan pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:
1.
Siswa
memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan
dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
2.
Siswa
memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang
disadari hak dan kewajiban sebagai warga negara.
3.
Siswa
dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti, mengolahnya dan
mengambil keputusan dalam menghadapi
masalah nyata di masyarakat.
4.
Siswa
dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan
nilai dan moral.
Sementara
itu, menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) kegunaan pendidikan budi
pekerti bagi peserta didik adalah sebagai berikut :
1.
Pengembangan,
yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah
tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
2.
Penyaluran,
yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat
berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
3.
Perbaikan,
yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik dalam
perilaku sehari-hari
4.
Pencegahan,
yaitu mencegah perilaku negatife yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan
budaya bangsa.
5.
Pembersih,
yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri,
dengki dan riya agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai ajaran agama dan
budaya bangsa.
6.
Penyaring (filter), yaitu untuk menyaring budaya bangsa
sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi
pekerti
B.
Tugas
Dan Peran Guru Dalam Pendidikan Budi Pekerti
Menurut
Thomas Lickona dalam HAR Tilaar (1999: 76-80), tugas dan peran guru dalam
mendukung pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah adalah sebagai
berikut:
1.
Seorang
pendidik harus menjadi model, sekaligus menjadi mentor dari peserta didik dalam
mewujudkan nilai-nilai moral pada kehidupan di sekolah. Tanpa guru atau guru
sebagai model, sulit untuk diwujudkan suatu pranata sosial (sekolah) yang dapat
mewujudkan nilai-nilai kebudayaan.
2.
Masyarakat
sekolah haruslah masyarakat bermoral
Apabila
kita berbicara mengenai budaya kampus (campus culture) dan budaya sekolah
(school culture), maka sekolah dan kampus bukan semata-mata untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, tetapi juga
memupuk kejujuran , kebenaran, dan pengabdian kepada kemanusiaan. Secara
keseluruhan budaya kampus adalah budaya yang bermoral. Hanya dengan demikian
sekolah dan kampus menjadi pelopor dari perubahan kebudayaan secara total,
yaitu bukan hanya meningkatkan nilai.
3.
Praktikkan
disiplin moral
Moral
adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekedar sesuatu yang deskriptif
tentang sesuatu yang baik, tetapi sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran
seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplimasikan adanya disiplin. Pelaksanaan
moral yang tidak berdisiplin sama artinya dengan tidak bermoral.
4.
Menciptakan
situasi demokratis di ruang kelas
Salah
satu kondisi pelaksanaan kehidupan moral
adalah menciptakan situasi dimana perilaku moral dapat terwujud. Di dalam
ruangan kelas dimana terjadi proses belajar dan mengajar yang konkret,
disitulah dapat dilaksanakan penghayatan moral yang paling dasar, antara lain
suka membantu yang lain, jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain,
dsb.
5.
Mewujudkan
nilai-nilai melalui kurikulum
Nilai-nilai
moral bukan hanya disampaikan melalui mata pelajaran yang khusus, tetapi juga
terkandung dalam semua program kurikulum. Artinya, di dalam setiap mata
pelajaran dalam kurikulum tersirat pertimbangan-pertimbangan moral.
6.
Budaya
bekerja sama (Cooperative Learning)
Salah
satu yang dibutuhkan di dalam kehidupan bersama adalah kerja sama, termasuk
belajar bersama. Belajar bersama hanya
mungkin berkembang apabila para peserta didik tidak diarahkan kepada sikap
egoisme dalam proses belajar. Peran guru bukan hanya membimbing peserta didik
secara perorangan, tetapi mendorong mereka melalui penciptaan situasi belajar
untuk dapat belajar bersama.
7.
Tugas
pendidik adalah menumbuhkan kesadaran berkarya
Tugas
guru dalam pranata sosial adalah menumbuhkan nilai kekaryaan pada peserta
didik, yaitu kerja keras, cinta pada kualitas, disiplin kerja, kreativitas dan
kepemimpinan. Kesadaran berkarya menuntut peserta didik untuk menghargai akan
arti ketrampilan di dalam kebudayaan.
8.
Mengembangkan
refleksi moral
Refleksi
moral dapat dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral.
Ada yang mengkhawatirkan bahwa refleksi moral akan menjadi senjata makan tuan.
Pendapat tersebut adalah suatu fallacy oleh karena nilai-nilai moral merupakan
sesuatu refleksi yang telah teruji di masyarakat. Pelaksanaan nilai-nilai moral
tersebut akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
memilikinya.
9.
Mengajarkan
resolusi konflik
Nilai-
nilai moral akan terus berkembang dan semakin kompleks. Dengan demikian, nilai-nilai
moral akan terus berkembang dan semakin berkembang di dalam pelaksanaanya.
Refleksi moral merupakan syarat dari suatu kehidupan demokratis dan
perkembangan kebudayaan.
C.
PENDIDIKAN
BUDI PEKERTI DAN PEMBANGUNAN MORAL BANGSA
Menurut
Azyumardi Azra (2000), merebaknya tuntutan dan gagasan tentang pentingnya
pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolahan, haruslah diakui berkaitan
erat dengan semaking berkembangnya pandangan dalam masyarakat yang luas bahwa
pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan
tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral,
dan budi pekerti yang baik. Pandangan simplistis menganggap bahwa kemerosotan
akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama di
sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat
minim, materi pendidikan agama yang terlalu teoretis, sampai pada pendekatan
asfek afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan berbagai kendala
constraints, dan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau
kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral dan bahkan kepribadian peserta
didik.
Berikut ini
masalah yang akan dikupas oleh uraian diatas:
1.
Krisis
Mentalitas dan Moralitas Bangsa
Menurut Azyumardi
Azra (2000), masalah yang dipaparkan di atas hampir bisa dipastikan hanyalah
tip of iceberg dari krisis yang dihadapi pendidikan nasional umumnya. Krisis
yang dihadapi kelihatannya bukan hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia
pendidikan pada umumny dalam hal kualitas akademis lulusannya, tetapi juga
dalam hal mentalitas, moral, dan karakter.
Pembahasan masalah
krisis mentalitas dan moralitas peserta didik, terdapat beberapa masalah pokok
yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral dilingkungan pendidikan
nasional (CR Djohar 1999; Navis 1999). Menurut Azyumardi Azra ada tujuh
permasalaha yang krusial untuk ditangani
antara lain sebagai berikut :
1.
Arah
pendidikan telah kehilangan objektivitasnya
Sekolah dan
lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk
berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dab budi pekerti, di mana mereka
mendapat koreksi tentang sikap, perilaku, dan tindakannya; salah atau benar,
baik atau buruk.
2.
Proses
pendewasaan diri tidak berlangsung baik dilingkungan sekolah.
Lembaga pendidikan
kita umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan
pembudayaan peserta didik (enculturisasi). Sekolah selain berfungsi pokok untuk
mengisi kognisi, afeksi, dan psikomotorik peserta didik, sekaligus juga
bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkat kemampuan merespon dan memecahkan
masalah pada dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, terjadi proses
pendewasaan peserta didik secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka
hadapi secara bertanggung jawab. Pemecahan masalah secara tidah bertanggung
jawab, seperti melalui tawuran, anarkhis, dan bentuk kekerasan lain merupakan
indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah.
3.
Proses pendidikan di sekolah sangat
membelenggu peserta didik, bahkan juga para guru.
Hal ini bukan hanya
disebabkan karena formalisme sekolah bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi
juga dalam PBM yang cenderung sangat ketat, juga karena beban kurikulum yang
sangat berat. Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi peserta didik
untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan
psikomotoriknya.
4.
Beban
kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi hampir sepenuhnya
diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka, dan disampaikan melalui
pola delivery system. Sedangkan afeksi dan psikomotoriknya hampir tidak
mendapat perhatian untuk pengembangn sebaik-baiknya. Padahal perkembangan
afeksi dan psikomotorik sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, dan
budi pekerti peserta didik.
5.
Materi
yang dapat menumbuhkan afeksi seperti mata pelajaran agama disampaikan dalam bentuk verbalisme yang juga
disertai dengan sote-memorizing.
Kenyataan tersebut bertambah parah dengan adanya kecenderungan dalam masyarakat,
dimana terdapat diskrepansi yang menolak antara keimanan dan ketaatan formal
dalam ibadah keagamaan dengan perilaku sosial.
6.
Pada
saat yang sama peserta didik dihadapkan pada nilai-nilai yang sering
bertentangan (contradictoy set of values). Pada satu pihak, mereka belajar
pendidikan agama untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hemat, rajin,
disiplin, dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama, banyak orang dilingkungan
sekolah justru melakukan hal-hal diluar itu, termasuk di kalangan sekolah itu
sendiri.
7.
Para
peserta didik juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik
atau living morak exemplary di lingkungannya. Mereka mungkin menemukan teladan
yang baik di lingkungan sekolah, di dalam diri guru tertentu, tetapi mereka
kemudian sulit menemukan keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah.
2.
Peran
moral dan budi pekerti serta etika pendidikan dalam pembangunan bangsa
Krisis mentalitas,
moral, dan karakter anak didik berkaitan dengan krisis-krisis multidimensional
lain, yang dihadapi bangsa ini pada umumnya dan pendidikan nasional pada
khususnya. Oleh karena itu, jika dicermati dan dinilai lebih adil dan objektif,
makro krisis yang mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari
krisis yang lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa upaya mengatasi krisis
seperti itu tidak memadai jika hanya dilakukan secara parsial di lingkungan
persekolahan saja. Harus ada kesatupaduan atau sinergisitas untuk mengatasi
krisis moralitas dan mentalitas ini dalam masyarakat yang lebih luas, dalam
rumah tangga, dan lingkungan lainnya.
Namun demikian,
sekolah bukan berarti tidak memiliki kewajiban untuk memulai atau sebagai
pioner dalam mengatasi krisis mentalitas dan moralitas tersebut, setidaknya
dengan mencoba memulainya dari lingkungan sendiri yang terkecil, lalu meluas
dalam keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Walaupun mungkin nantinya upaya
tersebut belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis dan persoalan bangsa ini,
tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat,
upaya pihak sekoah dapat menjadi titik pusat dan tonggak awal dari usaha
mengatasi krisis yang melanda bangsa ini secara menyeluruh.
Lebih lanjut
menuut azyumardi Azra (2000), dalam kerangka paradigma baru pendidikan
nasional, terdapat rumusan tentang nilai-nilai dasar pendidikan nasional yang
terdiri dari delapan butir, yaitu sebagai berikut
1.
Keimanan
dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan harus memberikn atmosfer religiusitas
kepada peserta didik.
2.
Kemerdekaan,
yakni kebebasan dalam pengembangan gagasan, pemikiran, dan kreativitas.
3.
Kebangsaan,
yakni komitmen kepada kesatuan kebangsaan dengan sekaligus menghormati
pluralitas
4.
Keseimbangan
dalam perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak
5.
Pembudayaan,
yakni memiliki ketahanan budaya dalam ekspansi budaya global
6.
Kemandirian
dalam pikiran, dan tindakan, tidak tergantung pada orang lain.
7.
Kemanusiaan,
yakni menghormati nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, budi pekerti, dan keadaban
8.
Kekeluargaan,
yakni ikatan yang erat antara komponen sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Dalam kerangka mikro, visi pendidikan nasional adalah
terwujudnya manusia Indonesia baru yang memiliki sikap wawasan keimanan dan
akhalak tinggi dan mulia, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung
tinggi HAM, saling pengertian dan berwawasan global.
Tujuan makro pendidikan nasional adalah membentuk
organisasi pendidikan yang otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam
pendidikan untuk menuju pembentukan lembaga yang beretika, selalu menggunakan
nalar, mampu berkomunikasi sosial yang positif dan memiliki SDM yang sehat dan
tangguh.
Tujuan mikro pendidikan nasional membentuk manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beretika, memiliki nalar, berkemampuan
komunikasi sosial, dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia sendiri.
3.
Membentuk
Budi Pekerti dan Membangun Karakter Melalui Pendidikan
Menurut Azyumardi
Azra (2000), sebelum pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam
rencana pelajaran tahun 1947, yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi
pekerti” yang bersumber dar nilai-nilai tradisional, khususnya yang terdapat
dalam cerita pewayangan. Sejak 1950 (UU No. 4/1950 dan UU No. 12/1954 tentang
Dasar-Dasar pendidikan), pendidikan agama masuk mata pelajaran fakuatif yaitu
pendidikan agama merupakan mata pelajaran optional (pilihan), yang boleh
diambil atau tidak diambil oleh peserta didik. Hal yang sama ditetapkan dalam
Tap. MPRS No. II/1960 dan Tap. MPRS No. XXVII/1966 dengan penegasan bahwa
pendidikan agama deselenggarakan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.
Dengan semakin
pentingnya Pendidikan agama, maka pendidikan budi pekerti semakin marginal.
Pada tahun 1975 pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dari Kurikulum 1984, Moral Pancasila
diintegrasikan ke dalam empat mata pelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB), P4, dan Sejarah Nasional. Terakhir menurut kurikulum
1994, subjek ini tercakup ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Dengan hilangnya mata pelajaran budi pekerti, masalah
bangsa semakin kompleks memunculkan masalah akhlak dan moral di kalangan
peserta didik pada berbagai level atau tingkatan.
Dari wacana diatas dapat kita ambil kesimpulan sebagai
berikut
1.
Pendidikan
budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab
keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas. Jadi, meskipun sekolahnya
misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan
masyarakatnya tidak atau kurang baik, maka pendidikan budi pekerti di sekolah
tidak banyak artinya.
2.
Pendidikan
budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam pendidikan agama dan mata
pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan budi pekerti tersebut tidak bisa
teraktulisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode
maupun muatan yang lebih menekankan pengisian
aspek kognitif daripada aspek afektif (budi pekerti). Meskipun BPPN dan
Depdikbud telah memperbincangkan dan merumuskan persoalan ini sejak tahun 1995,
namun harus diakui belum tercapai kesepakatan tuntas tentang pendidikan budi
pekerti.\
Dalam
perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi dan politik Indonesia
yang juga memicu peninjauan ulang terhadap pendidikan budi pekerti kembali
menjadi wacna publik.
Pertama,
menerapkan pendekatan modelling dan exemplary. Yaitu mencoba dan membiasakan
peserta didik dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan untuk menghidupkan
dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan memberikan model atau teladan.
Kedua,
menjelaskan atau mengklarifikasikan secara terus-menerus tentang berbagi nilai
yang baik atau buruk. Hal ini bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
1.
Memberi
ganjaran (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai baik.
2.
Secra
terbuka dan kontinu menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk; memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan
tindakan
3.
Melakukan
pilihan secara bebas setelah menimbang berbagai konsekuensi dan setiap pilihan
sikap dan tindakan
4.
Senangtiasa
membiasakan bersikap dan bertindak atas niat baik, dan tujuan-tujuan ideal
5.
Membiasakan
besikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik, diulangi terus-menerus, dan
kosisten
Ketiga,
menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini
bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukan character based
approach ke dalam setiap pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi
baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan
dan berkaitan, seperti mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn. Bahkan dalam
rumusan Diknas (2000), bisa pula mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Penjaskes, KTK, dan mata pelajaran muatan lokal. Beberapa
poin yang ditawarkan di atas tidaklah exhaustive, banyak yang bisa ditambahkan.
Akan tetapi, poin-poin tersebut bukanlah instant solution atau solusi yang siap
saji, serta masih banyak cara lain yang bisa ditempuh untuk memperbaiki
moralitas dan mentalitas bangsa ini.
Berdasarkan
beberapa asumsi di atas, dengan memperkaya dimensi nilai, moral, dan norma pada
aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi
anak-anak dalam menghadapi perubahan sosial. Kematangan
ijin ngopi yaaa :)
BalasHapusijin buat referensi landasan teori skripsi saya ya bro..
BalasHapusterima kasih, semoga Tuhan memberikan barokah buat Anda
amiiiiin