paskibraka provinsi jambi 2010

paskibraka provinsi jambi 2010

Rabu, 28 November 2012

URGENSI PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI



A.    Kegunaan atau Fungsi Pendidikan Budi Pekerti
            Menurut Cahyono (2001:13) kegunaan pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:
1.      Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
2.      Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang disadari hak dan kewajiban sebagai warga negara.
3.      Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti, mengolahnya dan mengambil  keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat.
4.      Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai dan moral.
                        Sementara itu, menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) kegunaan pendidikan budi pekerti bagi peserta didik adalah sebagai berikut :
1.      Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
2.      Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
3.      Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik dalam perilaku sehari-hari
4.      Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negatife yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
5.      Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri, dengki dan riya agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai ajaran agama dan budaya bangsa.
6.      Penyaring  (filter), yaitu untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti

B.     Tugas Dan Peran Guru Dalam Pendidikan Budi Pekerti
            Menurut Thomas Lickona dalam HAR Tilaar (1999: 76-80), tugas dan peran guru dalam mendukung pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah adalah sebagai berikut:
1.      Seorang pendidik harus menjadi model, sekaligus menjadi mentor dari peserta didik dalam mewujudkan nilai-nilai moral pada kehidupan di sekolah. Tanpa guru atau guru sebagai model, sulit untuk diwujudkan suatu pranata sosial (sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai kebudayaan.
2.      Masyarakat sekolah haruslah masyarakat bermoral
Apabila kita berbicara mengenai budaya kampus (campus culture) dan budaya sekolah (school culture), maka sekolah dan kampus bukan semata-mata untuk meningkatkan kemampuan intelektual,  tetapi juga memupuk kejujuran , kebenaran, dan pengabdian kepada kemanusiaan. Secara keseluruhan budaya kampus adalah budaya yang bermoral. Hanya dengan demikian sekolah dan kampus menjadi pelopor dari perubahan kebudayaan secara total, yaitu bukan hanya meningkatkan nilai.
3.      Praktikkan disiplin moral
Moral adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekedar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu yang baik, tetapi sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplimasikan adanya disiplin. Pelaksanaan moral yang tidak berdisiplin sama artinya dengan tidak bermoral.
4.      Menciptakan situasi demokratis di ruang kelas
Salah satu kondisi pelaksanaan kehidupan  moral adalah menciptakan situasi dimana perilaku moral dapat terwujud. Di dalam ruangan kelas dimana terjadi proses belajar dan mengajar yang konkret, disitulah dapat dilaksanakan penghayatan moral yang paling dasar, antara lain suka membantu yang lain, jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, dsb.
5.      Mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum
Nilai-nilai moral bukan hanya disampaikan melalui mata pelajaran yang khusus, tetapi juga terkandung dalam semua program kurikulum. Artinya, di dalam setiap mata pelajaran dalam kurikulum tersirat pertimbangan-pertimbangan moral.
6.      Budaya bekerja sama (Cooperative Learning)
Salah satu yang dibutuhkan di dalam kehidupan bersama adalah kerja sama, termasuk belajar bersama.  Belajar bersama hanya mungkin berkembang apabila para peserta didik tidak diarahkan kepada sikap egoisme dalam proses belajar. Peran guru bukan hanya membimbing peserta didik secara perorangan, tetapi mendorong mereka melalui penciptaan situasi belajar untuk dapat belajar bersama.
7.      Tugas pendidik adalah menumbuhkan kesadaran berkarya
Tugas guru dalam pranata sosial adalah menumbuhkan nilai kekaryaan pada peserta didik, yaitu kerja keras, cinta pada kualitas, disiplin kerja, kreativitas dan kepemimpinan. Kesadaran berkarya menuntut peserta didik untuk menghargai akan arti ketrampilan di dalam kebudayaan.
8.      Mengembangkan refleksi moral
Refleksi moral dapat dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral. Ada yang mengkhawatirkan bahwa refleksi moral akan menjadi senjata makan tuan. Pendapat tersebut adalah suatu fallacy oleh karena nilai-nilai moral merupakan sesuatu refleksi yang telah teruji di masyarakat. Pelaksanaan nilai-nilai moral tersebut akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang memilikinya.
9.      Mengajarkan resolusi konflik
Nilai- nilai moral akan terus berkembang dan semakin kompleks. Dengan demikian, nilai-nilai moral akan terus berkembang dan semakin berkembang di dalam pelaksanaanya. Refleksi moral merupakan syarat dari suatu kehidupan demokratis dan perkembangan kebudayaan.

C.     PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN PEMBANGUNAN MORAL BANGSA
Menurut Azyumardi Azra (2000), merebaknya tuntutan dan gagasan tentang pentingnya pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolahan, haruslah diakui berkaitan erat dengan semaking berkembangnya pandangan dalam masyarakat yang luas bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Pandangan simplistis menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama di sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan agama yang terlalu teoretis, sampai pada pendekatan asfek afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan berbagai kendala constraints, dan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral dan bahkan kepribadian peserta didik.
Berikut ini masalah yang akan dikupas oleh uraian diatas:
1.    Krisis Mentalitas dan Moralitas Bangsa
Menurut Azyumardi Azra (2000), masalah yang dipaparkan di atas hampir bisa dipastikan hanyalah tip of iceberg dari krisis yang dihadapi pendidikan nasional umumnya. Krisis yang dihadapi kelihatannya bukan hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia pendidikan pada umumny dalam hal kualitas akademis lulusannya, tetapi juga dalam hal mentalitas, moral, dan karakter.
Pembahasan masalah krisis mentalitas dan moralitas peserta didik, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral dilingkungan pendidikan nasional (CR Djohar 1999; Navis 1999). Menurut Azyumardi Azra ada tujuh permasalaha  yang krusial untuk ditangani antara lain sebagai berikut :
1.    Arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya
Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dab budi pekerti, di mana mereka mendapat koreksi tentang sikap, perilaku, dan tindakannya; salah atau benar, baik atau buruk.
2.    Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik dilingkungan sekolah.
Lembaga pendidikan kita umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik (enculturisasi). Sekolah selain berfungsi pokok untuk mengisi kognisi, afeksi, dan psikomotorik peserta didik, sekaligus juga bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkat kemampuan merespon dan memecahkan masalah pada dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, terjadi proses pendewasaan peserta didik secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggung jawab. Pemecahan masalah secara tidah bertanggung jawab, seperti melalui tawuran, anarkhis, dan bentuk kekerasan lain merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah.
3.     Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik, bahkan juga para guru.
Hal ini bukan hanya disebabkan karena formalisme sekolah bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi juga dalam PBM yang cenderung sangat ketat, juga karena beban kurikulum yang sangat berat. Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya.
4.    Beban kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka, dan disampaikan melalui pola delivery system. Sedangkan afeksi dan psikomotoriknya hampir tidak mendapat perhatian untuk pengembangn sebaik-baiknya. Padahal perkembangan afeksi dan psikomotorik sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, dan budi pekerti peserta didik.
5.    Materi yang dapat menumbuhkan afeksi seperti mata pelajaran agama  disampaikan dalam bentuk verbalisme yang juga disertai dengan sote-memorizing. Kenyataan tersebut bertambah parah dengan adanya kecenderungan dalam masyarakat, dimana terdapat diskrepansi yang menolak antara keimanan dan ketaatan formal dalam ibadah keagamaan dengan perilaku sosial.
6.    Pada saat yang sama peserta didik dihadapkan pada nilai-nilai yang sering bertentangan (contradictoy set of values). Pada satu pihak, mereka belajar pendidikan agama untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hemat, rajin, disiplin, dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama, banyak orang dilingkungan sekolah justru melakukan hal-hal diluar itu, termasuk di kalangan sekolah itu sendiri.
7.    Para peserta didik juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik atau living morak exemplary di lingkungannya. Mereka mungkin menemukan teladan yang baik di lingkungan sekolah, di dalam diri guru tertentu, tetapi mereka kemudian sulit menemukan keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah.

2.    Peran moral dan budi pekerti serta etika pendidikan dalam pembangunan bangsa
Krisis mentalitas, moral, dan karakter anak didik berkaitan dengan krisis-krisis multidimensional lain, yang dihadapi bangsa ini pada umumnya dan pendidikan nasional pada khususnya. Oleh karena itu, jika dicermati dan dinilai lebih adil dan objektif, makro krisis yang mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis yang lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu tidak memadai jika hanya dilakukan secara parsial di lingkungan persekolahan saja. Harus ada kesatupaduan atau sinergisitas untuk mengatasi krisis moralitas dan mentalitas ini dalam masyarakat yang lebih luas, dalam rumah tangga, dan lingkungan lainnya.
     Namun demikian, sekolah bukan berarti tidak memiliki kewajiban untuk memulai atau sebagai pioner dalam mengatasi krisis mentalitas dan moralitas tersebut, setidaknya dengan mencoba memulainya dari lingkungan sendiri yang terkecil, lalu meluas dalam keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Walaupun mungkin nantinya upaya tersebut belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis dan persoalan bangsa ini, tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya pihak sekoah dapat menjadi titik pusat dan tonggak awal dari usaha mengatasi krisis yang melanda bangsa ini secara menyeluruh.
     Lebih lanjut menuut azyumardi Azra (2000), dalam kerangka paradigma baru pendidikan nasional, terdapat rumusan tentang nilai-nilai dasar pendidikan nasional yang terdiri dari delapan butir, yaitu sebagai berikut
1.    Keimanan dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan harus memberikn atmosfer religiusitas kepada peserta didik.
2.    Kemerdekaan, yakni kebebasan dalam pengembangan gagasan, pemikiran, dan kreativitas.
3.    Kebangsaan, yakni komitmen kepada kesatuan kebangsaan dengan sekaligus menghormati pluralitas
4.    Keseimbangan dalam perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak
5.    Pembudayaan, yakni memiliki ketahanan budaya dalam ekspansi budaya global
6.    Kemandirian dalam pikiran, dan tindakan, tidak tergantung pada orang lain.
7.    Kemanusiaan, yakni menghormati nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, budi pekerti, dan keadaban
8.    Kekeluargaan, yakni ikatan yang erat antara komponen sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Dalam kerangka mikro, visi pendidikan nasional adalah terwujudnya manusia Indonesia baru yang memiliki sikap wawasan keimanan dan akhalak tinggi dan mulia, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung tinggi HAM, saling pengertian dan berwawasan global.
Tujuan makro pendidikan nasional adalah membentuk organisasi pendidikan yang otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju pembentukan lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, mampu berkomunikasi sosial yang positif dan memiliki SDM yang sehat dan tangguh.
Tujuan mikro pendidikan nasional membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beretika, memiliki nalar, berkemampuan komunikasi sosial, dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia sendiri.

3.    Membentuk Budi Pekerti dan Membangun Karakter Melalui Pendidikan
Menurut Azyumardi Azra (2000), sebelum pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran tahun 1947, yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti” yang bersumber dar nilai-nilai tradisional, khususnya yang terdapat dalam cerita pewayangan. Sejak 1950 (UU No. 4/1950 dan UU No. 12/1954 tentang Dasar-Dasar pendidikan), pendidikan agama masuk mata pelajaran fakuatif yaitu pendidikan agama merupakan mata pelajaran optional (pilihan), yang boleh diambil atau tidak diambil oleh peserta didik. Hal yang sama ditetapkan dalam Tap. MPRS No. II/1960 dan Tap. MPRS No. XXVII/1966 dengan penegasan bahwa pendidikan agama deselenggarakan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.
     Dengan semakin pentingnya Pendidikan agama, maka pendidikan budi pekerti semakin marginal. Pada tahun 1975 pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dari Kurikulum 1984, Moral Pancasila diintegrasikan ke dalam empat mata pelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4, dan Sejarah Nasional. Terakhir menurut kurikulum 1994, subjek ini tercakup ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dengan hilangnya mata pelajaran budi pekerti, masalah bangsa semakin kompleks memunculkan masalah akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai level atau tingkatan.
Dari wacana diatas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut
1.    Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas. Jadi, meskipun sekolahnya misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan masyarakatnya tidak atau kurang baik, maka pendidikan budi pekerti di sekolah tidak banyak artinya.
2.    Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam pendidikan agama dan mata pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan budi pekerti tersebut tidak bisa teraktulisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian  aspek kognitif daripada aspek afektif (budi pekerti). Meskipun BPPN dan Depdikbud telah memperbincangkan dan merumuskan persoalan ini sejak tahun 1995, namun harus diakui belum tercapai kesepakatan tuntas tentang pendidikan budi pekerti.\
Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi dan politik Indonesia yang juga memicu peninjauan ulang terhadap pendidikan budi pekerti kembali menjadi wacna publik.
Pertama, menerapkan pendekatan modelling dan exemplary. Yaitu mencoba dan membiasakan peserta didik dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan memberikan model atau teladan.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan secara terus-menerus tentang berbagi nilai yang baik atau buruk. Hal ini bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
1.    Memberi ganjaran (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai baik.
2.    Secra terbuka dan kontinu menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan
3.    Melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang berbagai konsekuensi dan setiap pilihan sikap dan tindakan
4.    Senangtiasa membiasakan bersikap dan bertindak atas niat baik, dan tujuan-tujuan ideal
5.    Membiasakan besikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik, diulangi terus-menerus, dan kosisten
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukan character based approach ke dalam setiap pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan dan berkaitan, seperti mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn. Bahkan dalam rumusan Diknas (2000), bisa pula mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Penjaskes, KTK, dan mata pelajaran muatan lokal. Beberapa poin yang ditawarkan di atas tidaklah exhaustive, banyak yang bisa ditambahkan. Akan tetapi, poin-poin tersebut bukanlah instant solution atau solusi yang siap saji, serta masih banyak cara lain yang bisa ditempuh untuk memperbaiki moralitas dan mentalitas bangsa ini.
Berdasarkan beberapa asumsi di atas, dengan memperkaya dimensi nilai, moral, dan norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam menghadapi perubahan sosial. Kematangan 

2 komentar:

  1. ijin buat referensi landasan teori skripsi saya ya bro..
    terima kasih, semoga Tuhan memberikan barokah buat Anda
    amiiiiin

    BalasHapus